Teori Belajar

16.17 Posted In Edit This 0 Comments »

Macam-macam Teori Belajar

 

           Teori adalah sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik dan yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974 dalam Dahar, 1988: 5). Proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, artinya, kumpulan proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi lainnya dan juga pada data yang diamati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, proposisi berarti rancangan usulan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 899). Dengan demikian proposisi dalam kaitannya dengan teori, berarti rancangan gagasan untuk memprediksi dan mejelaskan fenomena-fenomena. Salah satu fenomena itu adalah belajar dan pembelajaran yang terjadi dalam dunia pendidikan.
          Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Individu dapat dikatakan telah mengalami proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan dalam kecendrungan perilaku (De Cecco & Crawford, 1977 dalam Ali, 2000: 14). Perubahan perilaku tersebut mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya yang dapat maupun tidak dapat diamati . Perilaku yang dapat diamati disebut penampilan (behavioral performance) sedangkan yang tidak dapat diamati disebut kecendrungan perilaku (behavioral tendency). Penampilan yang dimaksud dapat berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan, dan melakukan sesuatu perbuatan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara perilaku hasil belajar dengan yang terjadi secara kebetulan. Seseorang yang secara kebetulan dapat melakukan sesuatu, tidak dapat mengulangi perbuatan itu dengan hasil yang sama. Sedangkan seseorang dapat melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat melakukkannya secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Gagne (1977) seperti yang dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal dilingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode atau perlakuan).
Proses belajar dalam konteks pendidikan formal, merupakan proses yang dialami secara langsung dan aktif oleh pebelajar pada saat mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang direncanakan atau disajikan di sekolah, baik yang terjadi di kelas maupun di luar kelas (Soedijarto, 1993: 94). Proses belajar yang berkulitas dan relevan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu direncanakan. Belajar merupakan kegiatan aktif pebelajar dalam membangun makna atau pemahaman, sehingga diperlukan dorongan kepada pebelajar dalam membangun gagasan (Depdiknas, 2002). Oleh karena itu diperlukan penciptaan lingkungan yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab pebelajar untuk belajar sepanjang hayat. Pembelajaran yang melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu indera saja. (Dryden, G. dan Jeannette V., 2002: 195). Hal ini akan memunculkan kreativitas untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu cara saja.
            Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Lozanov (1978), mengatakan bahwa sampai sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, B., 2002: 3). Ini berarti, dalam pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian pebelajar ke dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Hal ini, sesuai dengan empat pilar pendidikan seumur hidup, seperti yang ditetapkan UNESCO, yaitu 1) to learn to know (belajar untuk berpengetahuan), 2) to learn to do (belajar untuk berbuat), 3) to learn to live together (belajar untuk dapat hidup bersama), dan 4) to learn to be (belajar untuk jati diri) (Sadia, 2006). Untuk itu diperlukan membangun ikatan emosianal dengan pebelajar, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan ancaman. Hal ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, B., 2002: 23). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena belajar dan pembelajaran, sehingga dalam implementasinya dapat lebih efektif dan efesien.
           Ada perbedaan yang prinsip antara teori belajar dengan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, karena tujuan utamanya memeriksa proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif, karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal (Bruner dalam Degeng, 1989 dalam Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada bagaimana peserta didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran merupakan variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Dengan demikian, dalam pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi. Hubungan antara variabel-variebel pembelajaran pada teori belajar, disajikan pada diagram berikut:

Kondisi

Pembelajaran

Metode

Pembelajaran

Hasil

Pembelajaran

 
           Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik, yaitu hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bisa jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena teori belajar adalah deskriptif, maka menggunakan struktur logis “Jika …., maka …..” (Landa dalam Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 13). Sebagai contoh, ”Jika materi pelajaran (ini suatu kondisi) diorganisasi dengan menggunakan model elaborasi (ini suatu metode) maka perolehan belajar dan retensi (ini suatu hasil) akan meningkat”. Dalam  proposisi teori belajar tersebut, model pengorganisasian pembelajaran (model elaborasi) ditetapkan sebagai perlakuan, di bawah kondisi karakteristik isi pelajaran, untuk memerikan perubahan unjuk kerja (actual outcomes), berupa peningkatan perolehan belajar dan retensi. Dengan demikian teori belajar menyatakan bahwa, apa yang terjadi secara psikologis bila suatu tindakan belajar dilakukan oleh seseorang.
            Pada teori pembelajaran, fokus diarahkan kepada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Oleh karena itu teori pembelajaran berhubungan dengan upaya mengontrol variable-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat mudah belajar. Dalam hal ini, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai givens, dan metode yang optimal ditetapkan sebagai variabel yang diamati. Jadi, kondisi dan hasil pembelajaran sebagai variabel bebas, sedangkan metode pembelajaran sebagai variabel tergantung.
          Teori pembelajaran adalah goal oriented, artinya, teori pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Reigeluth, 1983; Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 12). Oleh karena itu, variabel yang diamati dalam teori pembelajaran adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan. Hubungan antara variable-variabel tersebut, disajikan pada bagan berikut:
Kondisi

Pembelajaran

Hasil

Pembelajaran

Metode

Pembelajaran

 
             Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori pembelajaran adalah hasil pembelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu. Dengan demikian teori pembelajaran berisi seperangkap preskriptif guna mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan di bawah kondisi tertentu. Adapun proposisi yang digunakan dalam teori pembelajaran adalah “Agar …., lakukan ini” (Landa dalam Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005:13). Sebagai contoh, “Agar perolehan belajar dan retensi (suatu hasil) meningkat, organisasilah materi pelajaran (suatu kondisi) dengan menggunakan model elaborasi (suatu metode). Dalam proposisi teori pembelajaran, peningkatan perolehan belajar dan retensi ditetapkan sebagai hasil pembelajaran yang diinginkan, dan model elaborasi yang merupakan salah satu model untuk mengorganisasi materi pelajaran, dijadikan metode yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam teori pembelajaran harus terdapat variabel metode pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri peserta didik. Jadi, dalam teori pembelajaran, terdapat preskripsi tindakan belajar yang harus dilakukan agar proses psikologis dapat terjadi.
            Teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu teori sebelum abad ke-20 dan teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen. Sedangkan teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field, berlandaskan kepada segi kognitif (Ali, 2000: 20). Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law Of Effect oleh Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta Teori Operant Conditioning oleh Skiner (Dahar, 1989: 39). Sedangkan teori belajar Gestalt-field (teori belajar kognitif), meliputi teori belajar bermakna oleh Ausubel, teori belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori Webteaching oleh Norman, teori Hirarki belajar oleh Gagne, dan teori perkembangan oleh Piaget. Teori Piaget biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif.  Teori belajar Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.  Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2001). Pernyataan ini didukung oleh Sadia (2006), yang mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme berakar pada teori struktur genetik Piaget. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang dikembangkannya, Piaget juga dikenal sebagai konstruktivis pertama.

         Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan’s pengetahuan satu, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
       Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia)

Macam-macam Teori Belajar

    Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme,  teori belajar kognitivisme, dan  teori belajar konstruktivisme.  Teori belajar behaviorisme hanya berfokus pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep.

Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

2. Teori  Belajar kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif  ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.

3. Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.

Referensi
Ali, H.M. 2000. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan ke-10. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas
DePorter, B. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Ruang Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Edisi 1. Cetakan ke-10. Bandung: Kaifa
Dryden, G. dan Jeannette V. 2002. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution): Belajar Akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan “Fun” Bagian I: Keajaiban Pikiran. Penerjemah: Ahmad Baiquni. Bandung: Kaifa
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Edisi Ke-1. Cet. 1. Jakarta: Kencana
Sadia, I W. 2006. Landasan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar. Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha Singaraja
Sadia, I W. 2006. Model Pembelajaran Konstruktivistik (Suatu Model Pembelajaran Berdasarkan Paradigma Konstruktivisme). Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha Singaraja
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka



0 komentar: